“Dalam perjanjian itu ada poin yang menyebutkan: jika TNI/Polri yang melakukan penembakan, maka itu pelanggaran HAM. Tetapi, jangan sampai misalnya ada warga rambut gondrong atau lainnya, karena dicurigai kemudian ditangkap. Lalu, apakah itu pelanggaran HAM atau tidak? Ini bisa jadi polemik,” kata Deer Tabuni, Kamis (9/10).
Menurutnya, jangan sampai masyarakat yang tak tahu apa pun ditangkap dengan alasan perjanjian tersebut.
“Itu yang perlu diwaspadai, agar tak menimbulkan masalah baru ke depannya. Sebenarnya, saya sedikit sangat tidak terima. Artinya, harusnya ada perwakilan kelompok bersenjata yang dilibatkan dalam perjanjian itu. Saya pikir ini tidak bagus. Setelah penandatanganan ini, jika ke depan ada penembakan, pasti perjanjian ini jadi patokan untuk mengejar masyarakat. Siapa pun itu,” tandasnya.
Sementara juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar (Pol) Sulistyo Pudjo, kepada Jubi mengatakan perjanjian itu merupakan kesepakan sosial. Ojeknya, kata Pudjo, adalah kelompok bersenjata. Menurutnya, tidak mungkin objek dijadikan subjek.
Pudjo mengatakan, perbuatan kelompok bersenjata itu sudah tak bisa ditoleransi lagi. “Kejahatan tidak bisa kedaluwarsa dan itu delik murni. Pembunuhan yang pernah mereka lakukan harus tetap dibawa ke ranah hukum agar ada keadilan sesuai prinsip keadilan moderen dan filsafat keadilan. Keputusan terhadap kasus tersebut bukan di tangan bupati, masyarakat, polisi atau jaksa. Keputusan akan diambil oleh hakim mengenai perbuatan mereka. Jadi, tidak mungkin objek dilibatkan sebagai subjek,” kata Pudjo. (Arjuna Pademme)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar