Ancaman Perdana Menteri (PM) Papua New Guinea (PNG) John
O’Neill yang akan mengusir Dubes RI dari Port Moresby dan akan
membekukan semua hubungan diplomatik dengan Indonesia, dinilai banyak
pihak sangat berlebihan. Reaksi PM O’Neill yang berlebihan itu muncul
terkait dengan insiden di wilayah udara Indonesia pada 29 November 2011,
saat TNI AU mengirim pesawat tempur untuk membayang-bayangi pesawat
Falcon F900 yang menerbangkan Wakil PM PNG, Belden Namah karena telah
memasuki wilayah udara Indonesia.
Ancaman John O’Neill, “bak petir di siang bolong” itu yang kemudian
ditanggapi oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan menyebut
Australia terlibat memanas-manasi pengusiran duta besar Indonesia di
Papua Nugini. Pernyataan Kemenhan tesebut berangkat dari pemberitaan
Radio ABC Australia yang melaporkan pertama kali, bahwa militer
Indonesia memang sengaja melacak pesawat tersebut. Apakah angin
permusuhan yang dilontarkan PNG ada kaitannya dengan kondisi Papua yang
belakangan tidak stabil. Atau Australia sengaja menggunakan PNG sebagai
alat diplomasi dan politik untuk memisahkan Papua dari NKRI.
PNG dan Australia Menyasar Papua
Pada tahun 1970-an Posisi PNG menjadi amat strategis sebagai surga
untuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam melakukan perlawanan
bersenjata terhadap NKRI di Papua, maupun untuk melakukan gerakan
diplomatis. Awal tahun 1980-an kehadiran OPM di PNG menyebabkan masalah
pengungsi dan kekerasan di perbatasan. Daerah perbatasan PNG-Papua telah
menjadi wilayah paling violent karena seringnya perang
bersenjata antara OPM dan TNI. Seringnya kontak senjata di perbatasan
Papua, antara OPM dan TNI, serta makin tegangnya hubungan antara
kelompok OPM dengan pemerintah Indonesia, malah membuat PNG membukukan
penjanjian keamanan dengan Australia pada tahun 1987. Dengan adanya
kenjasama keamanan ini, Australia akan langsung bisa terlibat jika
terjadi konflik bersenjata di perbatasan Papua-PNG.
Papua, mempunyai nilai strategis bagi Australia, baik yang berdimensi
politik, ekonomi dan keamanan. Namun, Bagi Australia, keterlibatannya
dalam konflik Papua lebih didasari oleh pertimbangan keamanan karena
Papua dianggap sebagai mata rantai yang sangat essensial dalam garis
pertahanan Australia. Papua dan khususnya PNG telah sekian lama berperan
sebagai Buffer Zone bagi Australia dalam menangkal ancaman
keamanan balk itu dan Jerman tahun 1880-an, Jepang pada Perang Dunia II
dan tentunya dan ancaman komunisme yang disebarkan oleh Uni Soviet di
wilayah Asia Tenggara. Maka, goncangan politik atau militer yang terjadi
di Indonesia (Papua), akan sangat berpengaruh pada keamanan Australia.
Bahkan bila Papua merdeka menjadi sebuah negara, secara tradisional
Papua akan cenderung tertarik ke dalam wilayah Pasifik yang dihuni oleh
negara-negara berpenduduk ras Melanesia. Negara-negara Pasifik sendiri
cenderung berada di bawah perlindungan dan pengaruh besar Australia.
Jika Papua menjadi negara merdeka bukan tidak mungkin Papua akan lebih
dekat ke Australia dan memerlukan penlindungan Australia. Dengan
perhitungan ini, Papua akan sangat bergantung dengan Australia dan
dengan leluasa Papua akan dijadikan sebagai Buffer Zone yang
bisa dengan kuat menjaga wilayah Australia. Jadi sikap berlebihan Papua
Nugini terhadap Indonesia akibat provokasi Australia tersebut harus
dicurigai sebagai upaya merusak keutuhan integrasi NKRI dan harus
dinilai sebagai upaya perang diplomatik untuk menyasar kemerdekaan
Papua.
Waspada Diplomasi Kemerdekaan Papua
Kita bangsa Indonesia tentu ingat bagaimana pemerintah Australia
berhasil memainkan proses referendum Timor Timur yang digelar PBB pada
masa lalu. Guru Besar Ilmu Politik Singapore National University,
Prof.Dr.Bilveer Sing yang banyak melakukan studi soal Timor Timur dan
menulis buku berjudul: Timor Timur Indonesia dan Dunia Mitos dan Kenyataan,
merinci pengkhianatan yang dilakukan Amerika dan Australia yang telah
memaksa Indonesia untuk melakukan referendum dan ternyata referendum
itupun direkayasa untuk kemenangan mereka. Bahkan pasca referendum Timor
Timur, pemerintah Australia melalui departemen pertahannya membuat Task Force Papua
yang dipimpin oleh Jenderal Peter Cosgrove, bersama tujuh staf ahlinya
telah mengkaji permasalahan serta prospek kemerdekaan Papua. Pengalaman
pahit lepasnya Timor Timur kini agaknya sedang digencarkan berlaku ulang
kembali di Papua.
Keterlibatan PNG dan Amenika Serikat, Australia dalam konflik Papua
harus menjadi kewaspadaan bagi Indonesia. Dalam teori politik tidak ada
harga tetap, kita memiliki pengalaman lepasnya Timor Timur. Kita tidak
boleh lupa bagaimana Amerika bersama Australia meng aneksasi kembali
Timor Timur setelah menitipkannya kepada Soeharto. Rezim Soeharto pada
1975 tidak secuil kuku pun tertarik untuk meng aneksasi Timor Timur.
Amerika dan Australia lah yang membujuk Soeharto menguasai Timor Timur
dengan alasan ingin membendung teori domino meluasnya pengaruh Komunis
oleh raksasa Cina.
Kini pasca berakhirnya perang dingin Cina menjadi salah satu negara
dengan ekonomi dan militer terkuat. Dengan alasan untuk membendung
hegemoni Cina di kawasan pasifik itulah, Amerika kemudian menempatkan
2.500 Marinir AS di Fort Robertson, Darwin Australia. Bagi Australia
penempatan militer Amerika di Darwin dapat menjadi balance power
di kawasan. Namun, pada kenyataannya memicu “ketegangan” dan
“ketidakpercayaan” di wilayah tersebut, terutama bagi Indonesia (Papua).
Kita juga dapat melihat rentetan upaya diplomatik dan politik Amerika
mulai dari menggelar pasukan pangkalan militernya di Darwin. Kemudian
pergerakan Amerika diruang-ruang diplomatik dengan sepenuhnya terlibat
dalam institusi multilateral di kawasan itu, seperti lobi di ASEAN yang
dilakukan untuk membuka jalan AS Serikat dalam upaya untuk menguasai dan
memenangkan berbagai kepentingannya, termasuk melepaskan Papua
sebagaimana Timor Timur. Secara kongkrit diplomasi Amerika itu dapat
kita lihat dari dinamika yang terjadi pada pertemuan Asia Pacific Economy Cooperation (APEC) di Honolulu, Hawaii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar