Kamis, 11 Desember 2014

Anak Menjarah Hak Mama

Penulis :  on October 28, 2014 at 01:57:03 WP

 Oyos Saroso HN
Ilustrasi Menjarah (Ist)
Ilustrasi Menjarah (Ist)
“Mama-mama jual sayur. Anak jual mama,” ungkapku kepada teman-teman angota Aliansi Jurnalis Idependen (AJI) Papua di sela-sela kegiatan Uji Kompentensi Jurnalis Muda Angkatan Keenam di Hotel Numbay, dok V Jayapura, pada 9-11 2013 lalu.
Ungkapan itu disambut gelak tawa rekan-rekan jurnalis. Rekan-rekan memberikan komentar beragaman. “Ah,  nanti anak-anak mama dorang marah? Ah benar moh… Ha ha ha ha…” Ada kawan-kawan jurnalis yang terus hura sambil menyoal pernyataan.
Saya melontakan pernyataan lucu itu saat diskusi kisah mama menjual sayur di jantung Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Kisah mama jual sayur bukan hal baru. Dari pemerintahan ke pemerintahan Papua berintegrasi dengan  Indonesia,  tempat mama jualan sudah 40 tahun lebih tidak pernah perhatikan.
Kita menyadari infrastruktur pasar mama-mama Papua satu bagian dari pembangunan Papua yang diabaikan. Pemerintah hanya sibuk bermimpi, berdebat,  dan menggusur pasar mama-mama Papua demi membangun ruko, jalan raya, dan hotel-hotel pencakar langit. Jumlahnya gedung pencakar langit terus bertambah setiap tahun hingga kini.
Pembangunan yang terus bertambah itu mengubah kota Jayapura sarut marut dan merubah wajah tempat jualan mama-mama. Mama yang dulu berjualan di lokasi pasar tanpa bangunan, pasar yang tidak layak pun digusur. Mama terusir berjualan di trotoar jalan, emperan toko, pinggiran jalan, dan di atas aspal.
Pengusiran, perubahan tempat jualan itu,  menyadarkan mama harus menuntut hak dirinya sebagai warga negara. Mama mengorganisir diri bersama sejumlah aktivis perorangan maupun aktivis sejumlah NGo pada tahun 2002. Mereka menuntut pemerintah melalui demo dan audiens dengan  waakil rakyat kota, provinsi, dan juga Gubernur dan Wali kota.
Demo mama membuahkan reaksi. Gubernur Papua kala itu Barnabas Suebu SH menjanjikan pembangunan pasar. “Mulutku adalah SK (Surat Keputusan),”ungkap Suebu. Mama Papua percaya di balik slogan masa kampanye gubernur “Kaka Bas Pulang Kampung”. Orang percaya Suebu pulang dengan segudang ilmu membangun Papua, termasuk Pasar Mama Papua.
He he he…Suebu bukan pulang membangun Papua. Ia malah menjadi “perampok” proyek negara. Dua bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi, (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sungai Mamberamo senilai Rp 56 miliar  tahun anggaran 2009/2010. Elite Papua tidak dipercaya pemerintah pusat. Juga rakyat.
Kembali ke persoalan pasar mama-mama. Perjalanan waktu janji pemerintah membangun pasar mama mulai ada titik terang untuk tempat, anggaran, dan desain. Pemerintah mulai membangun pasar sementara mama dengan tenda senilai Rp2 miliar. Kemudian, pemerintah menjanjikan membangun pasar permanen enam lantai, di lokasi Terminal Bus Damri, Kota Jayapura.
Pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup. Alokasi anggaran terus bertambah dalam pernyataan pemerintah. “Pemerintah mengatakan ada anggaran Rp10 miliar lalu. Kini jadi Rp.45 miliar,  namun kami tidak tahu anggaran itu di mana keberadaannya. Kondisi pasar tidak pernah berubah,”ungkap Mama Yuliana Pigay, kordinator Mama-mama Pedangan Asli Papua, Jumat (21/3) lalu.
Kondisi pasar yang tidak pernah berubah juga terlihat pengelolaan koperasi mama-mama. Koperasi atas prakarsa mama-mama Papua bersama aktivis yang berkompenten. Ada pegawai bank Pemerintah Daerah yang mengorganisir mama-mama simpan uang hasil jualan setiap hari. Ada yang mengelola koperasi di lokasi pasar tenda.
Saya melihat pengelolaan koperasi itu sejak awal menjadi kuli tinta, tiga tahun lalu. Saya bangga melihat kawan-kawan yang peduli dan mengorganisir mama. “Pasti suatu saat mama tidak perlu mengemis lagi ke pemerintah. Mama bisa menbangun pasar dari hasil jualannya sendiri,”pikir saya  sambil menyaksikan kawan-kawan yang luar biasa hebat itu.
Seiring waktu, saya sudah tidak pernah lagi ingat mama-mama karena wilayah liputan saya berubah. Walaupun begitu, saya masih memikirkan mama lalu menulis surat mama dalam bentuk artikel. Saya menulis surat mama untuk anak kepala daerah. ‘Ketika Penguasa Menangis,  Membaca Surat Mama,’tulisku di media ini.
Sekadar meraih harapan, mengkomunikasi suara mama yang tak terdengra, saya pun mempersiapkan surat balasan anak pejabat kepada mama. Sebelum surat itu selesai, seminggu lalu, saya mendengar kekecewaan seorang sahabat yang pernah turut berjuang melalui aksi turun jalan hingga menulis artikel-artikel di media masa. Ia berusaha membangun opini, menjebatani komunikasi keluahan mama kepada publik dan pemerintah lewat media masa menjadi sia-sia.
Kata kawan, ia kecewa lantaran mama hanyalah objek oknum-oknum yang tergabung dalam Solidaritas Pedangan Asli Papua (Solpap). Anak-anak mengambil untung, berpesta pora dan hura-hurahan. Sementara, mama terus berjualan di di bawah tenda yang hanya kata pemerintah ‘sementara’ itu.
“Koperasi macet. Kios milik pribadi yang bertumbuh subur. Saya sangat emosi. orang-orang yang ada di sana mereka malas tahu kalau kita datang. Marah atau malu saya juga tidak mengerti,”ungkapnya kesal.
Saya tersentak kaget. “Tuhan…benar ka…mereka jahat sampe. Kalau mereka yang berjuang untuk keadilan untuk mama berperilaku begitu, bagaimana mungkin pemerintah mau percaya mereka penuhi harapan mama-mama? Parah…”ungkapku.
Saya pikir benar adanya ungkapan dua tahun silam. Anak-anak yang mengendalikan birokrasi hingga berjalan bersama perjuangan mama-mama sama perilakunya. Perilakunya jauh tertinggal dari mama-mama yang menutut hak yang tidak sampai kuliah itu. Anak-anak berpendidikan tinggi hanya utuk mengambil hak mama.
Aneh! Mereka meneriakkan keadikan dan kesejahteraan, namun menjarah hak mama-mama Papua. Mama menjadi korban kepentingannya dan objek kepentingan permainan anggaran. Merasa merasa tidak cukup yang mereka terima, lalu menjarah lagi. Rakusnya…ampunn…!
Kalau situasinya begini, apa jadinya nasib orang Papua, mama Papua yang sedang mencari keadilan di trotoar kota? Kalau begitu, mengapa dari dulu hingga hari meneriakkan pembangunan kesejahteraan rakyat Papua? Papua akan hancur-hancuran karena banyanya orang rakus. (Mawel Benny)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar