Senin, 10 November 2014

Ketua DPR Papua Khawatir Perjanjian Lanny Jaya Jadi Alat Legitimasi Kejar dan Tangkap Warga

Penulis : on October 10, 2014 at 01:15:10 WP
Oyos Saroso HN
Deklarasi dan pernyataan sikap masyarakat Lanny Jaya menyikapi situasi keamana di Lanny Jaya yang digelar di Kantor Bupati, Senin (6/10) – Jubi/Islami
Deklarasi dan pernyataan sikap masyarakat Lanny Jaya menyikapi situasi keamana di Lanny Jaya yang digelar di Kantor Bupati, Senin (6/10) – Jubi/Islami
Jayapura, Jubi – Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni, mengaku khawatir perjanjian antara masyarakat Lanny Jaya, Pemda Lanny Jaya, tokoh agama, dan masyarakat  adat di wilayah itu dengan aparat TNI/Polri yang disepakati baru-baru ini,  pada masa mendatang akan menjadi alat legitimasi bagi TNI untuk mengejar dan menangkap masyarakat yang dicurigai.
“Dalam perjanjian itu ada poin yang menyebutkan: jika TNI/Polri yang melakukan penembakan, maka itu pelanggaran HAM. Tetapi,  jangan sampai misalnya ada warga rambut gondrong atau lainnya, karena dicurigai kemudian ditangkap. Lalu,  apakah itu pelanggaran HAM atau tidak? Ini bisa jadi polemik,” kata Deer Tabuni, Kamis (9/10).
Menurutnya, jangan sampai masyarakat yang tak tahu apa pun ditangkap dengan alasan perjanjian tersebut.
“Itu yang perlu diwaspadai,  agar tak menimbulkan masalah baru ke depannya. Sebenarnya, saya sedikit sangat tidak terima. Artinya,  harusnya ada perwakilan kelompok bersenjata yang dilibatkan dalam perjanjian itu. Saya pikir ini tidak bagus. Setelah penandatanganan ini, jika ke depan ada penembakan,  pasti perjanjian ini jadi patokan untuk mengejar  masyarakat. Siapa pun itu,” tandasnya.
Sementara juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar (Pol) Sulistyo Pudjo,  kepada Jubi mengatakan perjanjian itu merupakan kesepakan sosial. Ojeknya, kata Pudjo, adalah kelompok bersenjata. Menurutnya, tidak mungkin objek dijadikan subjek.
Pudjo mengatakan, perbuatan kelompok bersenjata  itu sudah tak bisa ditoleransi lagi. “Kejahatan tidak bisa kedaluwarsa  dan itu delik murni. Pembunuhan yang pernah mereka lakukan harus tetap dibawa ke ranah hukum agar ada keadilan sesuai prinsip keadilan moderen dan filsafat keadilan. Keputusan terhadap kasus tersebut bukan di tangan bupati, masyarakat, polisi atau jaksa. Keputusan akan diambil oleh hakim mengenai perbuatan mereka. Jadi,  tidak mungkin objek dilibatkan sebagai subjek,” kata Pudjo. (Arjuna Pademme)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar